Pada awalnya kaki ini memilih melangkah menuju Bumi Perkemahan Gunung Puntang tapi karena kendala cuaca, sang kaki mengurungkan niatnya dan memutar arah menuju perjalanan baru yang menarik bagiku. Kaki ini menapaki jejak-jejak lama, menuntun dari satu kenangan ke kenangan lainnya.
Dimulai dari rumah tua yang dulunya menjadi tempat aku memecah hening dengan tangis dan tawa khas manusia yang baru lahir, di rumah inilah segala sesuatunya lengkap. Ayah, ibu, kakek, nenek dan paman yang hidup di rumah sederhana namun asri ini, yaa setidaknya hingga kakek memutuskan untuk menjual rumahnya dan berpindah ke tempat yang asing di tengah pedesaan untuk memuaskan hasrat dan melepas penat selepas masa pensiun.
Kini, kakiku menuntun kembali ke persimpangan yang berbeda, ke gedung sekolah dasar tua di tengah pemukiman penuh warna. Lampu jalan mengucap salam selamat datang dengan cahayanya yang redup-redup diantara senja, (mantan) tetangga-tetanggaku melempar senyum hangat, bahkan air selokan menari mengiringi langkahku. Di sekolah dan desa ini aku menjadi manusia yang sebenarnya, bersosialisasi setelah sekian lama mendekam di rumah dengan alasan aku benci manusia, setidaknya hingga ayah dan ibu mengucap pisah karena alasan yang tak pernah aku tahu hingga detik ini. Setelah itu aku menjadi 'lone wolf' lagi.
Kakiku terus melangkah dengan dorongan asap rokok, kini menuju salah satu gedung SMP Swasta tempat dimana aku pernah berseragam biru. Di tempat ini aku mengenal bagaimana manusia, bagaimana pemikiran mereka dan bagaimana sempurnanya kombinasi alkohol, asap dan kacang garuda.
Ibu kantin sekitar sekolah tersenyum padaku, dia masih ingat pada pelanggannya yang bobrok ini. Kami ngobrol sebentar tentang aku, teman-temanku dan sekolah ini. Di kantin inilah aku bertukar pikiran bersama teman-teman yang pikirannya dewasa sebelum waktunya, aku dan teman-teman selalu berdiskusi tentang politik negeri, sejarah buram Indonesia dan saling menukar kebencian pada rezim pak Harto. Lucu, mengingat bagaimana aku dan teman-temanku dianggap aneh karena topik pembicaraan yang terlalu jauh dari umur kita seharusnya.
Kakiku melangkah kembali meninggalkan ibu kantin yang masih bernostalgia, kakiku melangkah cepat namun terasa berat. Membawa sekujur tubuhku di halaman rumah sakit, tempat dimana dua orang yang aku cintai pergi. Nenek dan.. Entahlah, bagaimana aku harus menyebutnya? Kekasih? Baiklah, nenek dan kekasihku.
Rumput halaman rumah sakit melambai menyambutku, mereka percaya diri walau terlalu pendek untuk membuat angin menerpa mereka. Gulita datang, adzan maghrib mengalun indah diiringi melodi cahaya bintang yang berkerlip bergantian. Melodi elegi.
Ada sebuah kursi roda kosong tepat di tengah halaman, setiap karat handle-nya seperti magnet dan aku adalah besinya. Ini adalah kursi roda yang sama dimana kekasihku pernah duduk lemas dimaki angan-angan yang ia sadari takkan pernah tercapai. Aku masih ingat bagaimana ia tersenyum di antara sakitnya, bagaimana ia berserah diri sepenuhnya pada tuhan yang membuatku ragu akan tuhan. Seketika dunia serasa berputar pada satu pusat membentuk spiral yang tak jelas, membuatku hilang pegangan dan ingin memuntahkan isi perutku. Aku meraba-raba, mencari sesuatu untukku berpegangan tapi tidak ada apa-apa selain kegelapan dan bercak-bercak ungu tak beratur pada pandanganku. Setelah itu, ada burung hinggap di dataran hitam tepat di depanku, bentuknya mirip seperti burung Mockingjay-nya Hunger Games, burung itu membuka mulut lalu keluar warna-warna indah tak beraturan, saat aku menyentuhnya tubuhku menggelepar. Gelap.
Aku membuka mata, mobil dan motor berlalu-lalang di depanku, banyak orang di sekitarku. Langit sudah gelap sempurna. Pandanganku bergoyang, aku tersenyum lalu kembali mencumbu Lucy.