Colours : PURPLE

September 17, 2020

Aku berada di sebuah lorong, entah kenapa dan bagaimana aku bisa berada di sini. Aku kenal betul tempat ini, segala sesuatunya sangat tidak asing bagiku. Pintu-pintu kamar tertutup rapat sepanjang lorong. Udara menggantung diam di langit-langit, menolak membawa satu apapun selain aroma rokok bercampur pengharum ruangan. Lampu-lampu kuning berusaha terus menyala meski sudah lelah dimakan usia. Pemilik bangunan ini tak pernah ambil pusing soal lorong gelap, yang penting tiap kamar bersih dari segala cairan manusia dan kutu kasur; rating, profit dan santai tanpa ingat pajak bumi bangunan.


Aku mulai menyusuri lorong; sepi, statis dan kaku. 501, 502, 503, 504 …. Pelat-pelat itu kokoh tertempel di masing-masing pintu kamar, sedikit berkarat. Kamar 505 malu-malu mengintip di pojok kanan lorong. Lebih gelap dari pintu-pintu kamar lain. Aku berdiri di depan pintu 505, cat coklatnya sedikit terkelupas, gagang pintu pun sudah enggan menegakkan diri. Berdiri di depan pintu ini berarti aku mengutuk diri sendiri untuk tetap bergulat dengan masa lalu. Rasanya berat saat hatimu ingin sesuatu yang berbeda dengan otakmu. Manusia adalah organisme yang rumit, tiap bagiannya selalu mengalami konflik. Tapi kali ini aku tahu harus di pihak mana.




Pintu kamar kubuka. Salah satu engsel mengeluh dan melenguh, aroma rose wine dan asap ganja menyeruak, segalanya terang namun melankolis. Di atas ranjang King Size, ia duduk manis dengan segelas rose wine di tangan kanannya. Ia tersenyum menyambut. Gaun abu-abunya mengiyakan sisi melankoli, tangan kirinya beristirahat manja di antara dua pahanya.

"Finally," Suaranya lembut. "Long trip?"

"Kind of."

Ia beranjak dari duduknya, menghampiriku. Kedua tangannya meraih kerah kemejaku, gelas rose wine sudah beristirahat di meja tidur sejak entah kapan, aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah semestaku di matanya.

"Do you miss me?" Ia berbisik. Bila aku bisa, aku akan menukar oksigen dengan aroma tubuhnya hingga hanya itulah satu-satunya hal yang aku irup untuk hidup.

"Every single day, Bee."

"How did you get here?" Aku tak keberatan jadi tuli, asalkan aku masih bisa mendengar suaranya.

"I don't know, I don't really care." Tanganku bertengger di pinggangnya.

"You should. Remember, we aren't what we were." Ia mencengkram kerah kemejaku, merapatkan keduanya. Mencekikku.

"You're not here, and so am I." Ia mencekikku makin keras, berusaha dengan segala apa yang dia punya untuk memotong jalur napasku. Aku bersedia menyerahkan segala apa yang aku punya, tak melawan.

"Get back to where you were. Live with the guilt, regret, and every fucking shits you've done." Ekspresi wajahnya berubah merah marah, aku bisa melihat sedikit air mata menyelinap di pojok mata kirinya.

"Miss me, until you can't live with it anymore." Ia mencekikku makin keras. Aku tahu ia bermaksud untuk menutup pertunjukkan kali ini.

Trakea makin mengecil, kamar ini semakin remang dan redup. Aku bisa merasakan sel-sel darahku berlari tak karuan, bingung tak bisa mencapai pusat kontrol. Oksigen tertahan di pintu gerbang, karbondioksida menggembung di peparu. Pandanganku kabur dan samar, tapi aku masih bisa melihat wajahnya. Merah; marah dan tersedu. Aku tersenyum.

"I'm sorry. It's okay, my end is my redemption." Mataku ingin menutup.

Vena meledak. Gelap.

Hal terakhir yang aku dengar adalah,

"How I wish, how I wish you were here …
"We're just two lost souls swimming in the fish bowl …
"Year after year …."

"Wake up!"

-X-


16 September 2020. Pasha Fatahillah.
Ungu.
Visual art by: Komo

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook