Selene

November 10, 2020

Semua mata tertuju padamu; mungkin karena mereka tak pernah melihat Bulan menenggak Bintang dengan anggun sebelumnya, atau mungkin karena asap yang membumbung itu membawa aroma khas yang manusia-manusia ini hindari sejak hukum terlalu benci pada Mary. Atau mungkin kau memang harus diperhatikan, tetap sama seperti pertama kali kita bertemu.
Johnnie menjalankan tugasnya seperti biasa, berjalan dari pangkuan bartender ke kerongkonganmu. Selangkah, dua langkah, tiga, empat, lima; riuh dunia tak lagi punya tempat di telingamu. Bintang berpindah dari botol-botol kosong ke atas kepalamu. Beban di pundakmu ikut naik ke kepala, realita monoton memanifestasikan dirinya sebagai besi berpuluh ton untuk mengajakmu menutup mata dan menundukkan kepala. Tapi kita berdua tahu, fantasi masih jadi sajian utama.

Mary masih yakin bahwa tragedi adalah komedi yang manusia salah interpretasikan. Ia memutar tiap kehilangan dan ingatan soal air matamu yang bercucuran, namun tawa hanyalah respon yang bisa kau berikan; lagian, ini semua komedi, bukan?


Kau menegakkan kepalamu, dengan tawa, kau meminta bartender untuk sekali lagi menggiring Johnnie keluar dari rumahnya untuk memanjakan kerongkonganmu dan merusak segala sehat yang kau jaga sejak minggu lalu. Sedang aku di sini, masih menerka mengapa kau tidak mengasuh Vodka yang kau suka sejak lama. Seburuk itukah kenangan soal aku dan Smirnoff yang dulu kita damba? Seburuk itukah aku membakarmu?

Enam, tujuh hingga akhirnya sepuluh langkah; aku yakin Johnnie sudah membuatmu kehilangan pegangan dan arah. Serigala-serigala liar melolong senang karena melihat Bulan yang sejak lama mereka harapkan akhirnya tidak muskil didapatkan. Aku mendekatimu, duduk di sampingmu, seperti dulu. Serigala-serigala itu serentak diam dengan sopan, meski terdengar sedikit geraman kesal di pangkal tenggorokan. “Mataharinya sudah datang,” gumam mereka.
Bartender melempar senyumnya padaku, sudah lama Ia tidak melihat Matahari dan Bulan sedekat ini. Aku bertukar kabar dan bertukar kertas sebelum aku membawamu pergi ke kamar yang sama saat pertama kali kita bertukar residu Vodka di langit-langit mulut.

Kau tertidur di sana, sesekali meracau soal nama asing yang baru saja meninggalkanmu. Aku di seberang ruangan dengan 10% bagian Johnnie yang tak lagi bisa kau tenggak dan pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah menemukan jawabannya.
Apa cahaya yang kemarin membakarmu juga atau Ia kurang terang untukmu? Kapan pencarian cahayamu berakhir? Atau kau memang ditakdirkan untuk terus berotasi tanpa poros yang pasti? Apa cahayaku akan tetap membakarmu bila nanti kita berada di satu titik temu dengan kesadaran penuh di kepala kita berdua? Kapan pertanyaan-pertanyaan ini berhenti menghakimiku? Sampai kapan pengulangan ini kau puja?

Shit. Is this even real?

Bandung, 16/11/2019.

You Might Also Like

1 comments

Popular Posts

Like us on Facebook