Membakar Sadar
Agustus 04, 2017"Kau tak akan pernah tahu bagaimana manusia bisa jadi beringas. Lihat saja, kemarin aku dengar ada orang yang dibakar gara-gara dikira mencuri amplifier masjid! Mereka sudah berani jadi hakim dan algojo sekaligus! Haduuh, untung saja aku buta!" kata Si Bapak dengan emosi yang membara sampai dagangan yang sedang ia gendong hampir tumpah-tumpah. Aku tertawa ketir mendengar berita itu.
Ya, beberapa hari lalu di sosial media banyak akun yang membagikan foto seseorang yang dibakar. Di foto itu disandingkan penjelasan bahwa ia disangka mencuri amplifier masjid. Banyak argumen yang berbeda soal itu. Aku tak terlalu memikirkan tentang peristiwa itu hingga keesokan harinya ada berita yang memastikan bahwa korban pembakaran itu bukanlah pencuri. Lalu, aku berpikir betapa bisa manusia menjadi sadis.
"Menurut bapak, apa sih yang bisa bikin manusia jadi beringas seperti itu?" aku bertanya pada Si Bapak. Lalu ia tersenyum.
"Banyak! Banyak alasannya! Emosi sesaat yang bikin gelap mata, kedekatan mereka dengan Tuhannya, emosi yang tak tersalurkan atau bahkan cuma untuk senang-senang karena jadi ada tontonan," aku menghela napas dan diam tanpa kata memikirkan apa maksud Si Bapak.
"Pada dasarnya, kalau manusia terlampau emosi, mereka bakal buat apa saja yang bikin emosinya reda bahkan kalau perlu bunuh diri. Depresi terlampau besar, dia gantung diri. Marah banget, dia pukulin orang. Seperti itulah." lanjut Si Bapak setelah menyalakan garfitnya.
"Lalu?" kataku penasaran.
"Sabarlah kau ini! Garfitku sedang enak ini!" katanya lalu menyesap dalam-dalam rokoknya.
"Lalu aku bilang kedekatan manusia dengan Tuhannya. Manusia merasa dekat dengan Tuhannya sampai mereka berani menghalalkan darah pencuri di rumah Tuhan dan di waktu bersamaan, manusia tak merasa jauh dengan Tuhannya hingga berani menghalalkan darah yang tak ia tahu bersalah atau tidaknya." katanya sembari melepas topi dan menyisakan kepala botak tak beraturan.
"Terus emosi yang tak tersalurkan. Ada manusia yang emosinya ia tahan dan saat ada manusia lain untuk dikambing hitamkan, ia mulai berani menyalurkan. Lalu menjadikan korban sebagai bahan tontonan. Karena manusia jenuh dengan hidupnya yang monoton, apa hiburan terbaik selain memukuli orang, melihatnya tersiksa dan bilang anjing goblog tanpa takut korban membalas? Begitulah, sha. Aku juga bisa jadi jahat kalau aku tidak buta, tapi gimana aku bisa jahat kalau memukul pun aku tak tahu arahnya? Aku sadar kekuranganku dan aku menerimanya. Tapi mereka yang jadi jahat tak pernah sadar dan menerima kekurangannya." katanya lalu mengakhiri percakapan dengan hisapan panjang pada rokok garfitnya.
Aku masih termangu mendengarkan kata-kata Si Bapak. Pedagang asongan berkepala botak tak beraturan ini pikirannya lebih luas dari semesta. Aku tanya dia, dia langsung menjawab seakan tak perlu berpikir. Di tiap napasku, aku selalu bersyukur mengenal orang-orang hebat di hidupku.
"Hei! Kau mau tahu apa kekuranganmu?" kata Si Bapak melepasku dari lamunan.
"Apa? Macam bapak tahu segalanya tentangku saja." aku tertawa.
"Ha! Kau sudah menunjukannya barusan! Kau terlampau congkak dan sombong, sha. Saking congkaknya, kau berani menantang keberadaan Tuhan. Saking sombongnya, kau berani memberi pelajaran basi lewat tulisan tanpa sadar kau masih butuh banyak pelajaran. Saking angkuhnya, kau menolak beribadah," katanya jelas menusukku bertubi-tubi. Aku gondok.
"Tapi di saat bersamaan, itu semua adalah anugrah." Si Bapak menepuk-nepuk puncak kepalaku seperti yang selalu ia lakukan saat menasihati anak-anaknya. Senyumnya tulus tergurat di wajah yang terlihat keras. Meski kacamata hitam itu menutupi kedua matanya, tapi aku yakin kedua mata itu pun mengerut memberi senyum. Tapi terlepas dari ekspresi teduh Bapak Batak yang galak ini, aku tak mengerti perkataannya.
"Ah bapak ini. Sudahlah, aku mau pergi dulu nanti sore aku balik lagi kesini antar bapak pulang. Bapak dagang ditemani Midun saja, ya." aku berdiri dan meraih tangan Si Bapak lalu mencium tangannya.
"Memangnya mau kemana kau?"
"Cari cewek buat teman ngobrol. Aku sudah bosan ngobrol dengan bapak-bapak tua." aku tertawa, ia pun ikut tertawa malah paling keras.
Terima kasih, Pak.
Jumat, 4 Agustus 2017. Pasha Fatahillah.
Sent from my BlackBerry®
0 comments