Antara : Fuoco (Bagian 1)
Agustus 06, 2017Dan aku kembali dengan satu lagi tulisan tai soal imajinasi. Cerita bersambung ini aku beri judul "Antara" dan mengandung sub-judul di tiap bagiannya. Cerita ini terinspirasi dari pertemuanku dengan seorang wanita di dunia maya berinisial A, itulah kenapa aku pilih Antara, untuk mewakili namanya dan satu kata yang tepat untuk mewakili keseluruhan cerita. Cerita ini sepenuhnya fiksi yang sebenarnya aku harap benar-benar terjadi. Hahaha. Ok, shit. Tak usah panjang, silahkan. Membacalah, membaralah.
ANTARA : FUOCO (Bagian 1)
Hari ini panas, aku melepas jaketku untuk memberikan sedikit kebebasan pada suhu tubuhku. Seiring dengan itu, angin kemarau meresap ke rongga-rongga tubuhku. Damai. Ya, damai kalau saja aku bisa melupakan suara bising kota. Aku duduk di salah satu bangku taman kota, sedikit menikmati bising knalpot dan klakson emosi yang disuarakan orang-orang tak sabaran, mengagumi rupa tiap manusia yang melewatiku dan sesekali mencomot nikmat dalam hisapan rokokku.
Ada satu wanita yang melewatiku. Ia memakai turtleneck berlengan panjang namun tak bisa menutupi perutnya. Alhasil, pusarnya seakan berputar-putar jadi pusat perhatian. Celana denimnya robek-robek seperti punyaku, hanya saja robekan celana wanita itu lebih ekstrim. Aku jadi penasaran apakah celananya ia sobek sendiri sepertiku atau ada tikus mesum yang merobek celananya sehingga tikus itu bisa dengan bebas menikmati paha atau bahkan ada pabrik yang membuat celana itu? Kenapa ia membeli celana sobek, ya? Sambil memikirkan itu, aku terus melihat wanita itu melenggok membelah kerumunan dan menjadikannya pusat dari segala perhatian. Wajahnya cantik dengan rambut panjang bergelombang yang tergerai indah, bibirnya tipis manis dan matanya memandang lurus penuh percaya diri. Tiba-tiba ia mendapatiku sedang melihatnya lekat-lekat yang mungkin dalam pikirannya seperti orang mesum yang ingin memilikinya. Tapi, aku yakin pandanganku biasa-biasa saja. Atau memang pandanganku seperti orang mesum, ya?
"What the heck are you looking at?" kata wanita itu setengah teriak padaku. Seketika semua orang di seluruh penjuru taman melihat ke arah kami. Dan setelah beberapa detik, aku baru menyadari wanita itu berbicara bahasa Inggris.
"I'm looking at you." kataku dengan polos sembari menatap matanya.
"Why are you doing that?" balasnya dengan nada stress yang kentara. Tiba-tiba aku ingin tertawa.
"You let me do. You let us do." balasku masih dengan nada polos namun sekarang agak ditambah dengan usahaku menahan tawa. Perhatian orang-orang makin tertuju pada kami.
"You're jerk!" umpat wanita itu sambil menunjuk tepat ke wajahku dan mendekatiku.
"What the-- ok, lady, first thing is we're in Indonesia. And I think you're Indonesian. Jadi, mari kita berbahasa. Hal kedua adalah, kenapa anda sangat stress saat seseorang melihat anda? Melihat tubuh anda? Jadi apa sebenarnya motivasi anda memakai baju seperti itu? Dan ini hal terakhir," aku berdiri lalu berjalan mendekatinya. Aku memakaikan jaketku padanya lalu memberi bandana hitamku.
"I do care about you. Tubuhmu terlalu indah untuk disiarkan ke seluruh orang. Pakai bandana ini, ikat di pinggangmu jadi pahamu tertutup." setelah itu, aku berjalan meninggalkannya dan orang-orang yang melongo memandangiku.
"Dasar, manusia." pikirku.
Aku menghisap rokok dalam-dalam. Kerumunan orang-orang terbelah saat aku akan melewati mereka. Tiba-tiba ada suara langkah berlari kecil di belakangku, wanita itu menyusulku.
"Terima kasih." kata wanita itu. Aku melihatnya, wajahnya memerah, agak manis.
"Sama-sama." aku jawab sembari melemparkan pandangan ke arah kerumunan yang masih bertahan melongo entah sudah berapa menit.
"Jaket kamu gimana?" katanya masih malu.
"Nanti aku tagih. Itu jaket kesayanganku meski warnanya sudah pudar." kataku dengan nada ketus.
"Daripada gitu, antar aja aku ya." ia menarik lenganku, mempercepat langkahnya ke arah salah satu department store di daerah ini. Aku tak menolak, karena menurutku ini jalan yang semesta berikan, dan aku menikmatinya. Senyumku tersungging jelas.
Kedua pasang kaki kami menyelaraskan langkah. Tangan kanannya masih lembut memegang pergelangan tanganku, matanya menyapu tiap sudut pandang seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian, matanya berbinar ketika melihat puluhan dress sepanjang lutut yang tergantung elegan. Tangan kirinya menyusuri tiap dress, mencari satu yang pas sementara tangan kanannya masih memegang lenganku.
"Warna hitam atau putih, ya?" katanya seperti bertanya pada diri sendiri.
"Hitam." aku menjawab tanpa peduli kemana sebenarnya pertanyaan itu tertuju. Tak lama kemudian ia mengajakku melangkahkan kaki lagi dengan satu dress hitam di tangannya.
Ia masuk ke kamar pas dan tak lama ia keluar dengan pesona yang baru. Semacam mendapat air segar di tengah dahaga yang menampar, aku meneguk indahnya dengan kedua mataku. Meski tetap terbuka tapi setidaknya dress itu lebih pantas daripada turtleneck yang tak cukup menutupi perut. Rambutnya tetap dibiarkan tergerai seperti gelombang ombak menuju pantai. Aku tak sudi untuk berkedip namun tanpa bertanya, ia kembali ke kamar pas dan menyuruhku menunggunya disini.
Aku ditinggalkan dengan bayangan yang masih bisa aku lihat di tempatnya tadi berdiri. Aku bahkan terlambat sadar kalau ia sudah keluar dan menuju kasir sembari membawa jaket denim dan satu tas tangan berwarna senada yang ia temui di tengah perjalanan menuju kasir. Dasar, wanita. Mataku perih dan aku sadar kalau aku lupa untuk berkedip.
.
Setelah beberapa kali mengedipkan mata, wanita itu sudah kembali berdiri di depan mataku mengenakan dress hitam dan jaket denim, kedua tangannya menggenggam tas tangan, kini ia menjatuhkan seluruh rambutnya ke sisi kanan tubuhnya. Ia terlihat tomboy namun tetap manis. Aku kira dia akan selalu manis.
"Terima kasih." katanya sembari menyerahkan bandana dan jaketku.
"Sama-sama." aku menjawab cepat, berusaha terlihat normal.
"I think this will be my brand-new style, though." katanya sembari sengaja memerhatikan seluruh tubuhnya dari sisi ke sisi dengan manja.
"Bagus untukmu, sih. Jadi, sepertinya sudah selesai, ya? Aku pulang deh." kataku sembari memutar balik badan dan mulai melangkah.
Tak lama suara langkah kaki kecil itu menyusulku. Ia berjalan seiringan tepat di sampingku. Aku tersenyum geli, ia pun sama. Kita mulai tertawa lepas tanpa merasa malu jadi pusat perhatian orang-orang di seluruh lantai department store. Aku menemukan bahagia.
-akan segera bersambung-
0 comments