Temaram : Kau
Agustus 10, 20174 tahun sudah kau kembali pada bumi. Menyatu dengan tanah dan debu. Kini, aku kembali duduk di sampingmu. Mengingat puluhan senja yang kita nikmati bersama, ratusan gulita, ribuan pagi, juga mengingat aroma khas tempat dimana kau terbaring tak berdaya. Biarkan aku bercerita, sayang.
Dulu, kita pernah bersama dengan rasa tulus ala manusia yang baru mengenal cinta. Kita masih terlampau muda, namun seakan tak mengenal ruang, kau menganggap hanya ada kita di dunia. Kita berjalan bersama, senda gurau saling terlempar menyusuri trotoar, orang-orang menertawai kita namun kau dengan tak-acuhnya menggenggam tanganku lalu berjingkrak-jingkrak ceria. Aku tak pernah tahu mengapa kau teramat ceria, seakan-akan ini adalah hari terakhir kau menginjak dunia. Tawamu, merasuki tiap telinga agar mereka ikut tertawa. Senyummu terlampau indah hingga orang yang melihatnya takkan pernah membiarkanmu dihinggapi duka.
-WAKTU TERUS MELAJU, KITA MENYATU-
Sepulang sekolah, sisa waktuku hanyalah dirimu. Kau mengajakku ke tiap sudut rumah, memperkenalkanku pada ratusan koleksi buku, lukisan-lukisan abstrak yang kau kagumi namun tak aku mengerti. Ayahmu tertawa melihat tampangku miris, ibumu tersenyum sembari memasukkan wortel yang telah diiris, namun kakakmu memandangi kita dengan tatapan meringis. Kepalaku bertanya kenapa, bibirku tak mampu berkata.
Setelah itu, kau membantu ibumu memasak. Pada irisan ketiga seledri yang amat kau sukai, kau tetiba jatuh tak sadarkan diri.
-WAKTU MENYINGKAP FAKTA, FAKTA MERETAS RASA--
Selepas jatuh, kau terbaring lemas. Sore itu semua orang kalap, namun aku tak bisa menentukan sikap. Aku kaget, melihatmu yang teramat enerjik tiba-tiba jatuh tak terusik. Sore itu juga, di bangku tunggu halaman rumah sakit, aku mendapat alasan mengapa kau teramat ceria. Kakakmu merangkulku, menceritakan semua dalam pilu. Aku tertunduk kaku, mendung langit urung menjadi hujan, ia berpindah pada genangan air mata yang aku tahan. Seketika itu aku berlari menuju tempat engkau terbaring sepi. Membuka pintu tanpa menghiraukan ayah dan ibumu yang sedang menunggu. Aku menggenggam tanganmu, mendung itu tak bisa lagi aku tahan. Mereka meluruh menuju telapak tanganmu. Hujan terderas yang pernah aku alami. Lalu tanganmu berkedut, seketika itu pula jemarimu mengisi sela-sela yang menginginkan genggaman. Jemari kita menyatu, aku menggenggammu kuat, kau membalasnya lemas. Kau tersenyum lalu terucap lirih dari bibirmu.
"Maafkan aku."
-WAKTU MERUNTUHKAN KELABU, MENUMBUHKAN LANGIT BARU-
Setiap angka di jam tanganku kini terisi oleh wajahmu. Senyum lesu selalu terlukis kala aku menemanimu. Kau duduk bersandar dengan gitar di pelukanmu. "Getaran yang membunuh waktu" itu katamu kala aku bertanya kenapa harus gitar yang ada di pelukanmu. Seperti biasa, kau memetik anggun tiap senarnya. Suaraku mengiringi tiap melodi. Suara kita bercengkrama, melupa bagaimana keadaan rasa dan raga. Lebih dari 4 kali menyanyikan lagu kesukaanmu, akhirnya suster jahat itu menciptakan ruang antara kau dan aku. Kau tersenyum, menggenggam tanganku lalu dengan cantiknya berkata
"Terima kasih."
Kau pun memaksa memejamkan mata.
-WAKTU MERUPA LUKA, MERUSAK JIWA-
Satu tahun kau terbaring hingga akhirnya kau hanya bisa tersenyum dalam hening. Tak ada yang membaik, kondisi semestaku semakin pelik. Kau pucat pasi, kurus kering, tak tersisa sehelai pun rambut panjangmu. Keadaanku pun makin parah, melihatmu membuat hatiku berdarah, memaksakan senyum di hadapanmu adalah hal tersulit dalam sejarah. Aku duduk di sampingmu, tangan kita sudah mengenal aroma masing-masing sehingga tanpa komando mereka saling mengisi ruang kosong. Kau melihat tepat ke arah mataku, entah mengapa aku mengerti kalau kau ingin diberi sebuah lagu. Aku menyanyikan lagu kesukaanmu dengan sedikit ragu.
"And you're lying real still
But your heartbeat is fast just like mine
The movie's long over that three that have passed
One more's fine...."
Kau terpejam, jemari kita tetap saling berpagutan.
"Will you stay awake for me?
I don't wanna miss anything..."
Genggamanmu melemah seiring dengan suara alat rumah sakit yang ikut melemah. Mataku berkaca-kaca, genggamanku menguat berharap jemarimu memberikan timbal balik.
"I don't wanna miss anything..." Genggamanmu makin melemah hingga akhirnya jemari kita terpisah. Sepihak dengan kondisimu, alat rumah sakit yang tadinya bising itu kini meninggalkan nada panjang yang stagnan. Napasku tercekat, berteriak kalap memanggil semua orang yang aku harap bisa merubah situasi. Prosedur demi prosedur pun dilakukan oleh bapak berjubah putih dengan tampang tegang dan peluh yang deras. Ia melihat ke arah ayahmu, lalu mengirimkan gelengan lemah. Ayahmu merangkul ibumu yang sedari tadi air matanya mengucur deras, ayahmu memandangku nanar. Aku terduduk di lantai samping ranjangmu. Merasakan betapa dinginnya lantai, betapa dinginnya dunia. Semestaku hening, riuhnya ada namun tanpa suara. Dengingan keras muncul di gendang telingaku. Kepingan memori bergantian muncul di kepalaku. Mataku perih dan basah tapi tak mengerti apa yang kurasa. Napasku tercekat, aku mencoba merebut oksigen yang ada, namun sia-sia. Semestaku berubah gulita.
-WAKTU MENGGERUS KENANGAN, BERLARI TANPA PENJELASAN-
Ada 'kan tiada adalah hal paling jelas di dunia dan menghadapinya adalah ketidak-jelasan paling jelas. Aku tak tahu harus bagaimana. Orang-orang berbaju hitam mengelilingi liang kubur yang berangsur-angsur dijejali tanah gembur. Ada tangis, ada doa, namun tetap aku tak tahu harus seperti apa. Aku hanya bisa membaca namamu yang terpampang di batu nisan berulang-ulang berharap itu bukanlah namamu. Tak ada air mataku yang meluruh sebab aku percaya kau masih ada.
Tanah telah menggunduk, bunga-bunga bertabur pilu. Doa semakin keras melangit. Aku meraup tanah itu, menggenggamnya sekuat tenaga. Sama sepertiku, mendung itu tak tertahan. Langit memuntahkan tangisnya, begitu pula aku. Orang-orang mengembangkan payung, aku mengembangkan murung. Orang-orang pergi, aku tetap mengakar pada bumi. Aku kembali duduk di sampingmu, mengutuk apapun yang telah mengambilmu dariku. Hujan tetap bertahan hingga terang dan gulita bergantian. Aku tetap bertahan hingga mataku kekeringan. Malam itu adalah malam tergelap yang pernah aku alami. Penjaga makam begitu tekun mengajakku berteduh, ia merangkulku lalu memapahku pada satu gubuk reyot dekat dengan tempatmu. Aku duduk dengan tatapan kosong, tiap kenangan indah membentuk sebuah film di kepalaku tapi semuanya menjadi hambar.
"Yang datang harus dipersilakan, yang pergi harus direlakan." Kata penjaga makam itu sembari menyodorkan secangkir kopi hitam ke hadapanku.
"Kasihan si neng kalau kamu terus-terusan jatuh. Yang pergi adalah pelajaran, karena semua orang akan digantikan. Sila, coba kopinya, dik."
Senyum kecut menyungging di bibirku, aku menyeruput kopi tanpa ragu. Rasanya pahit, teramat pahit. Aku memandang penjaga makam itu.
"Ada pahit yang harus dinikmati, dik." Katanya.
"Terima kasih." Balasku sembari tersenyum, tulus.
Malam itu...
-WAKTU MENGURAI DUKA, MERESAP LUKA-
Mengenangmu adalah cerita terbaik dalam hidupku. Biarlah aku mengadu rindu pada bunga yang aku tabur di kuburmu. Biarlah aku mengutus rasa pada doa yang aku baca. Kini, aku melanjutkan hidup. Tak perlulah aku mencari penggantimu atau mencari wanita yang merupa dirimu. Aku hanya ingin dia yang rela kalau kau dan aku selalu menjadi kita.
-WAKTU MEREDAM RASA NAMUN MENOLAK LUPA-
Senin, 26 Juni 2017. Pasha Fatahillah.
0 comments