Soul Savers : Resha Renjana Senja
September 09, 201629 Maret.
Tangis bayi pecah di senja itu, di saat sang surya mengatakan lelah dan terus turun tenggelam ke ufuk barat. Si bayi tak pernah tahu bahwa ia akan tumbuh dengan nama Resha Renjana Senja bersama segala konflik, anugrah, tawa, tangis dan hal lain yang akan menghampirinya kelak.
Bayi itu tumbuh dengan normal walaupun dilahirkan secara tidak normal, mendahului proses kelahiran yang seharusnya terjadi sebulan yang akan datang. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan periang, dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya dengan cara yang menyenangkan walaupun sedikit otoriter.
Resha tumbuh dengan disiplin yang besar, rasa takut dan tidak bisa tidak pada setiap perintah orang tuanya. Resha muda tumbuh bersama buku yang selalu ia baca, ia sangat mencintai buku mungkin sama besarnya rasa cintanya pada keluarganya. Setidaknya hingga ia melihat papanya menampar mamanya, setidaknya hingga ia melihat tangis mamanya pecah di hadapan mata polosnya. Dari saat itu, Resha tumbuh dengan rasa muak dan benci pada orang yang menyakiti.
Waktu terus berjalan, bangku sekolah dilewatinya dengan mulus bahkan ia selalu berdiri di peringkat lima besar di kelasnya. Bertahan selama enam tahun sekolah dasar di peringkat lima besar walaupun sekolahnya selalu berpindah-pindah. Resha sudah terbiasa hidup nomaden seperti manusia purba yang tinggal dari satu gua ke gua lainnya. Berkali-kali ia berpindah pergaulan tapi ia tak pernah mendapatkan banyak teman, dia pendiam di antara teman-temannya. Tak pernah membuka mulut kecuali saat ditanya. Dia hanya diam dengan dunia dan temannya sendiri yang ada di dalam kepalanya. Dia tak pernah tahu bahwa teman yang ada di kepalanya suatu saat akan menjadi sebuah bencana.
Saat itu, ia baru pulang sekolah. Dia pulang dengan hati yang riang karena menemukan selembar uang 50.000 di jalan tadi. Namun, kesenangan tak pernah bertahan lama dalam hidupnya.
"De..." panggil papanya dari kamar.
"Iya pa?"
Dia kaget melihat mamanya yang sudah banjir air mata sedangkan mata papanya hanya memerah dan berkaca-kaca.
"Sini duduk, papa sama mama mau ngobrol," Ajak papanya.
"De, sekarang papa sama mama mau pisah. Ade mau pilih siapa?" tanya papanya dengan kepala menunduk, kedua matanya tak pernah berani melihat anaknya.
Resha memandang mamanya, meminta penjelasan. Semua orang di kamar itu hanya bergeming. Papa yang hanya menunduk dengan bahunya yang turun naik, mama yang sedari tadi banjir air mata kini hanya menatap kosong ke arah dinding di hadapannya tanpa sedikitpun menoleh pada anaknya, dan Resha tenggelam pada pikirannya sendiri. Dia kebingungan. Bukan kebingungan mencari jawaban tapi dia bingung dengan keputusan kedua orang tuanya, keputusan untuk berpisah pada saat anak sedang membutuhkan kasih sayang yang lengkap dari orang tuanya. Kelas enam SD, dia sudah bisa berpikir kritis jika harus memilih dengan siapa dia akan tinggal tapi pikirannya tak cukup kritis untuk mendapatkan alasan untuk keputusan orang tuanya. Pikirannya meliar, membangkitkan rasa benci yang meradang pada kedua orang tuanya. Sesaat kemudian, dia pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Menyendiri di kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk.
"Hehehehehehe... Welcome to the jungle, son!" sebuah suara muncul di dalam kepalanya, suara yang dia kenal sebagai teman imajinasinya.
"Apaan sih kamu?! Aku ga lagi ngomong sama kamu! Pergi sana!" balas Resha didalam pikirannya. Berbincang di dalam kepala dengan yang tak kasat mata.
"Aku? Hehehehehe... Denger anak lemah, gua bukanlah apa yang lu ciptain. Gua adalah gua, elu adalah elu. Gua bukan sekadar bentuk imajinasi dari kesepian lu! Engga! Gua adalah satu individu yang berbeda dengan lu... Gua adalah sisi tergelap lu! Seiring waktu, lu bakal tahu siapa gua! Hehehehe Cry out loud, son!"
Dia termangu mendengar semua kata-kata itu di kepalanya, dia terlalu bingung. Siapa suara itu?
Setelah percakapan tak kasat mata itu, ia hanya berdiam diri di dalam kamar dengan tatapan kosong yang tertuju pada dinding yang juga kosong. Pikirannya terlalu penuh, dia tak bisa berpikir jernih sehingga ia memutuskan untuk tidur, berharap pikirannya akan kembali normal setelah membuka mata nanti.
Waktu terus berjalan hingga ia berseragam putih biru sekarang, orang tuanya sudah berpisah dan dia memilih tinggal bersama ibunya. Ia terlihat riang di luar namun di dalam dirinya amarah dan benci tanpa tuju yang luar biasa bagaikan amukan langit di kala badai. Ia tumbuh dengan itu semua, dengan rasa benci dan amarahnya, dengan topeng yang selalu ia pakai, dengan asap tembakau dan aroma menyengat alkohol-- ya, Resha kini tumbuh menjadi manusia liar, tembakau dan alkohol jadi teman sejatinya untuk menenangkan kebencian dan amarah yang kian membesar dalam dirinya. Dan, teman yang ada di kepalanya terkadang muncul saat Resha berada di kondisi depresi, bukan menguatkan tapi "teman" itu malah mencibir dan menjatuhkan. Si tak kasat mata itu menyebut dirinya sebagai Kinan Rawk, nama yang aneh.
Bersambung...
Resha Renjana Senja
0 comments