Soul Savers : Masochist

September 08, 2016

Ini adalah sebuah cerpen tentang komunitas sosial dan psikologi, akan hadir lebih banyak lagi cerpen tentang komunitas ini dengan tema yang berbeda, selamat membaca.
Ttd, Kinan Rawk

-*-

Sinar mentari pagi menerobos jendela membelai sekujur tubuhku yang meringkuk di sudut ruangan. Pelupuk mataku sedikit membuka, tidak tahan dengan silau cahaya sang raja langit. Pandanganku menyapu seisi ruangan, tujuh orang yang lain di ruangan belum membuka mata masih fokus dengan dengkurannya masing-masing, menyelaraskan yang satu dengan yang lainnya sehingga membentuk irama pagi hari. Aku berdiri lalu beranjak ke dapur untuk membuat secangkir kopi hitam.

"Bikinin gua satu dong!" sebuah suara dari belakang memecah keheningan, suara Dian. Lelaki berkulit gelap namun sangat berkharisma.
"As you wish, sir." balasku dengan nada seolah aku adalah pelayan istana.

Dua cangkir kopi sudah berdiri tegak di teras, angin pagi berdesir teratur dengan diiringi sinar mentari yang malu-malu tuk menyampaikan hangatnya pada bumi. Hening, hanya dua aroma kopi yang saling berbincang.
"Nih rokoknya sha," suara Dian lagi yang memecah keheningan, dia mengeluarkan sebungkus rokok filter dan membantingnya ke ubin.
"Entar siang temenin gua ke toserba ya, mau beli bahan makanan buat anak-anak sama The Lost Souls." lanjutnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya, aku malas untuk bicara. Aku hanya ingin menikmati kopi dan asap rokok di pagi hari ini.

Aku, Dian dan orang-orang yang sedang mendengkur di dalam adalah sebagian kecil dari komunitas yang mengabdikan diri pada dunia sosial dan psikologi. Kami menyebut diri sebagai "Soul Savers", tujuan kami adalah menyelamatkan orang-orang yang terpuruk di zona depresi, orang-orang sakit jiwa yang terlantar di jalan dan kegiatan lainnya seputar kombinasi psikologi dan kesejahteraan sosial. Bahkan kami membuka jasa konsultasi psikologi dan panti sosial untuk menampung mereka yang kelainan mental dan dititipkan keluarganya pada kami untuk mengembalikan mereka pada "titik waras", Dian adalah salah satu konsultan di Soul Savers. Aku? Aku hanyalah bocah SMP yang ikut-ikutan karena tergila-gila pada ilmu psikologi dan beberapa hal lain yang mendorongku untuk ambil bagian di komunitas ini.

-*-

Mentari mendaki langit semakin tinggi hingga mencapai titik puncak. Gumpalan-gumpalan awan sedikit menutupi teriknya dan angin khas Bandung bertiup menyejukkan. Aku sudah duduk di dalam mobil mini bus hitam milik Dian, sebatang rokok kunyalakan untuk membunuh waktu menunggu Dian memacu mobilnya yang sedari tadi malah sibuk dengan jambulnya. Dia terlalu perfeksionis, sehelai rambut saja tidak berdiri maksimal, ia menata ulang kembali jambulnya -- dari awal. Entah sudah berapa kali dia menata ulang rambutnya, yang jelas rokok-ku sudah habis setengah batang, tanpa banyak aksi lagi Dian memacu mobilnya menuju toserba di tengah kota.

Jalan protokol Bandung sedikit sepi di hari libur ini, tak ada kemacetan yang memaksa mobil untuk berhenti sejenak. Jarak dari tempat kami ke toserba tidak terlalu jauh sehingga tidak terlalu memakan banyak waktu di perjalanan.
Setibanya disana, Dian mendorong trolly lalu memilih dan memilah bahan makanan yang cukup untuk jangka waktu satu bulan. Mayoritas makanan instan, seperti mie, sardines, kornet dan makanan-makanan kaleng lainnya.
Belanja selesai, aku dan Dian memasukkan buah tangan ke dalam mobil. Sesaat setelah semua belanjaan dimasukkan ke mobil, air muka Dian seketika berubah, ia menengadah ke arah rooftop dengan rahang yang mengeras, mata yang membelalak dan tangan yang mengepal. Tanpa bicara ia berlari ke arah toserba meninggalkanku.

"Lu mau kemana Di?!"
"Lu ga liat apa di rooftop?! Kunci mobilnya kalo mau ikut! Cepet!"

Seketika aku melihat ke arah rooftop, di tepi rooftop berdiri seorang lelaki kurus berseragam SMA dan terlihat binar air mata yang jatuh dilewati sinar matahari. Jelas sekali jika ia akan mengakhiri hidupnya. Tanpa membiarkan diri terlalu jatuh pada keterkejutan, aku membuntuti Dian.

Setiba di rooftop, Dian tidak langsung mencegah lelaki itu. Dia mengamatinya dari puncak kepala hingga jemari kaki telanjangnya.

"Separah apa cinta kamu, sampe kamu nekat buat loncat?" Kata Dian setengah berteriak pada lelaki yang berdiri di tepi. Aku bingung, kenapa Dian sok tahu permasalahannya? Lelaki itu menoleh ke arah kami dengan mata sembab.
"Siapa kalian?! Pergi! Ini bukan urusan kalian!"

"Kalau kamu loncat, kamu bakal jadi urusan semua orang," jawab Dian dengan tenang.
"Apa ga cukup kamu nyakitin diri sendiri? Kamu belum puas dengan ketajaman yang kamu goresin di tangan, di sekujur badan kamu? Sebuah kenikmatan dan kepuasan saat kamu nyakitin diri sendiri, tapi saya jamin kamu ga akan pernah menyentuh kenikmatan dan kepuasan itu kalo kamu loncat dari sini." lanjut Dian sembari perlahan mendekati lelaki itu, mempersingkat jarak antara kami dengannya. Aku baru menyadari di sepanjang lengan lelaki itu banyak bekas luka sayatan dan beberapa membentuk nama wanita, oh itulah kenapa Dian tahu permasalahannya soal cinta.

"Jauhin gua! Biarin gua sendiri!" teriak lelaki itu, ia mengepalkan jemarinya erat yang terlihat menggengam secarik kertas berwarna ungu. Urat-urat di kepala dan tangannya timbul tenggelam seiring dengan amarah dan puncak stress yang menghampiri dirinya.

"Sekarang bukan saat yang tepat buat kamu sendiri, kenikmatan itu ga akan pernah kamu dapet kalo sekarang kamu menyelesaikan ini sendiri. Dan dari situlah Tuhan mengirim saya dan teman saya buat kamu. Saling berbagi kenikmatan dan cerita. Lihat luka-luka di badan kamu! Itu adalah cerita! Sebuah cinta ngedorong kamu untuk memperoleh kenikmatan dengan cara itu, tapi cinta itu ga nyuruh kamu untuk loncat dari sini karena seperti yang udah saya bilang kamu ga akan pernah menyentuh kenikmatan itu,"
Dian menggulung lengan kemeja panjangnya hingga sebatas siku dan menunjukkan semua luka-luka sayatan yang ia lakukan sendiri. Dia seorang masochist, manusia yang mempunyai kelainan, memperoleh kenikmatan dengan cara melukai diri sendiri. Kelainan yang sama dengan Dian pada lelaki itu.

"Kita berdua punya cerita masing-masing, mundur dari situ dan kita berbagi cerita. Saya janji saya akan memberikan kenikmatan yang sejati." lanjut Dian masih dengan nada tenang namun mencengkram.
Tanpa panjang lebar lelaki itu mundur selangkah demi selangkah dan pada akhirnya ia jatuh terduduk lalu tangis yang teramat keras pecah seketika. Dian menghampiri lelaki itu lalu memberikan obat anti-depresan.

"Thanks, gua baru nemuin orang yang bisa ngertiin gua." kata lelaki itu di tengah tangisnya.
"Ikutlah ke tempat kami, kamu bakal nemuin banyak orang yang bisa mengerti kamu dan kamu mengerti." balas Dian.

Lelaki itu mengangguk.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook