Entry, Day 646: Rezeki Sudah Ada yang Atur

September 17, 2022

Beberapa hari ini aku sedang dalam posisi kemiskinan. Tanpa pekerjaan, kekurangan rokok, tangki bensin motor yang hanya terisi jejak Pertalite, tidak ada akses internet, berhari-hari menu makanan hanyalah telur dadar atau nasi goreng. Hanya barusan aku memegang uang seratus ribu rupiah untuk penyambung hidup, dan asupan dosis nikotin.

Dua lembar uang pecahan 50 ribu aku pegang dengan erat seperti balonku yang tinggal empat. Aku pergi ke mesin ATM paling dekat. Jalan kaki saja, kupikir, biar tidak perlu isi Pertalite. Rencananya selembar 50 ribu aku setorkan ke mesin ATM agar segala fisiknya bermutasi jadi saldo digital di rekening debit milikku, tanpa memegang uang fisik mungkin bisa menahan hasratku untuk membeli sesuatu yang tidak perlu. Dan selembar 50 ribu lagi aku pegang untuk membeli rokok dan makan, juga voucher internet untuk Ibuku.

50 ribu sudah masuk ke rekening, 50 ribu lagi bersandar di telapak tanganku. Saat ini, selembar kertas itu terasa sangat berharga. Tidak seperti sekitar dua bulan lalu dimana aku menghamburkan 3 juta rupiah dalam satu malam, sekadar bertengger dan langsung menguap.

Di jalan pulang dari mesin ATM, aku membeli satu bungkus rokok; 20 ribu rupiah. 10 ribu rupiah aku belikan voucher internet untuk Ibuku, kodenya sudah terkirim juga untuknya. Tersisa dua lembar 10 ribu rupiah di saku celanaku yang terasa luas. Aku sudah terbiasa berjalan kaki, 15 kilometer tanpa istirahat pun aku sanggup, namun ada yang memberatkan langkahku kali ini.

Di depanku ada seorang lelaki, lebih tinggi sedikit dariku, tubuhnya tegap lamun langkahnya melayang lesu; seperti enggan untuk mengambil langkah selanjutnya. Lelaki itu memakai topeng khas Anonymous, pakaiannya seperti Nasi Goreng khas rumah; segala bahan yang kau bisa temukan dimasukkan ke wajan, meski kau tahu tidak cocok bila dipadukan. Kedua tangannya menggenggam erat empat buah senjata yang bisa saja Ia ledakkan semaunya, tapi tidak, jelas terlihat Ia bergantung hidup pada keempat senjatanya. Aku takut, sangat takut. Namun aku melihat selembar kertas HVS menempel di punggungnya, tertulis jelas dengan aksen Bold di kertas itu, "JUAL BALON, HARGA SEIKHLASNYA". Seketika otot wajahku menegang, dadaku menyempit, dan tempurung lututku menjadi sepasang onggokan Panna Cotta.


"Rezeki sudah ada yang atur," begitu yang sering aku dengar dari mulut seorang yang dengan konyolnya sangat tabah, atau mereka yang tidak pernah meregang saku tiap subuh. Siapa yang mengatur? Apakah Tuhan adalah Bos bengis dan Mikail adalah salah satu staf akuntan di perusahaan Firdaus milik-Nya? Lalu apakah berhak Bezos menerima gajinya ketika karyawannya hidup dari satu tagihan ke tagihan lainnya? Apakah layak uang judi dan hadiah lotere yang didapatkan pemenang dari akumulasi kekalahan pemain lainnya? Apakah aturan yang sama berjalan bagi para pengemis independen, dengan orang miskin yang entah beruntung atau sial ketika dirangkul Baim Wong? Apakah aku pantas menerima 100 ribu tadi ketika orang di depanku melangkah lesu khas seseorang yang belum menggaji lambungnya?

Bila rezeki tiap manusia sudah diatur, sungguh sangatlah tidak benar "pengaturan rezeki" ini, harusnya ada revolusi untuk keadaan seperti ini. Tapi aku rasa tidak mungkin. Diktator sulit disentuh, apa yang bisa kita lakukan pada diktator yang kita tidak tahu posisi dan wujud fisiknya? Mungkin hanya bisa sabar, ikhtiar, dan berserah dengan vulgar. Oh, tolong jangan paksa aku membicarakan "usaha tidak akan mengkhianati hasil". Bangsat.

Tiba-tiba lelaki di depanku dihentikan oleh sebuah Mazda. Mobilnya berhenti tepat di samping lelaki itu. "Oh, mungkin ini yang dimaksud dengan rezeki sudah diatur," pikirku senang.

Pengemudi mobil itu beranjak keluar, menutup pintu dan mengunci mobilnya dengan hati-hati. Lelaki pemegang balon berdiri lebih tegap, lalu sedikit membungkukkan badan dan menyodorkan balon ke pengemudi Mazda, berusaha menarik perhatian. Tak lama, si Mazda melangkah cepat, menyebrang jalan. Menjauhi lelaki itu tanpa menoleh sedikitpun. Lelaki itu hanyalah bayangan samar di gelap malam. "Rezeki sudah diatur, pantatku," aku pikir. Lelaki itu kembali lunglai, tegapnya kali ini sepenuhnya binasa pada anihilasi secercah harapan untuknya makan.

"Kontol." Aku berjalan lebih cepat, menyusul lelaki itu. Merogoh saku, mengambil selembar 10 ribu rupiah, memberikannya pada lelaki itu tanpa ingin mengambil senjatanya. Ia masih perlu hidup di hari berikutnya. Maafkan aku juga karena aku masih perlu 10 ribu yang masih beristirahat di sakuku. 50/50, Balloon Man, that's all I can give.

"Terima kasih, semoga rezeki anda selalu lancar, diberi kesehatan …" bla bla bla. Ia berdoa. Mendoakanku. Lelaki itu meramu kembali harapan pada pengatur rezeki untuk memperbaiki sistemnya demi kebaikan orang lain, bukan demi dirinya sendiri.

Berdoa, ikhtiar, tabah, dan tawakal. Aku berani bertaruh lelaki itu sudah melakukan itu semua. Lalu katakan tepat di depan wajahku, aturan rezeki mana yang masih memaksa dia untuk tetap tergopoh di malam hari menggenggam gumpalan udara tanpa ada isi apapun di lambungnya selain cairan asam dan pepsin yang menggila. Rezeki sudah ada yang atur, aku setuju, mungkin Sang Pengatur hanya saja harus bekerja lebih baik dan para akuntan perlu melakukan kunjungan lapangan.

Semoga esok hari senjatamu tetap bisa membuatmu hidup, Balloon Man. Aku berdoa. Mendoakanmu. Aku meramu harapan pada pengatur rezeki untuk memperbaiki sistemnya demi kebaikan orang lain.

50 ribu di rekening sudah lenyap juga, aku pakai untuk main judi.

17 September 2022. Semoga besok giliranmu gajian.

Di kantor Mikail.

Cr pic:

Aiman Zenn


You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook