Perjalanan Menuju Pusat Diri
Oktober 17, 2016Seberkas cahaya mentari menyentuh jemari kaki yang kedinginan, seakan-akan semesta tahu apa yang penghuninya butuhkan. Seiring terhangatkan kaki, pikiran pun mulai berjalan yang kemudian mengontrol dan mengatur seluruh bagian tubuh. Jam enam tepat, masih terlalu pagi untuk membuka mata di hari libur tapi waktu yang pas untuk menikmati sensasi pagi bersama beberapa batang rokok dan secangkir kopi.
Kicauan burung tetangga menjadi obat stress tersendiri di pagi hari, dan itu gratis. Kini rokok dan kopi sudah habis, kicauan burung tetangga pun tiba-tiba berhenti, mungkin burungnya lemas dan lelah? Entahlah. Sekarang jam sembilan, entah berapa batang rokok habis selama dua jam tadi yang jelas waktu tak terasa kian memakan kita. Dua jam tadi aku habiskan dengan pikiran yang melancong ke mana-mana, dari satu problem ke problem lain, dari satu gagasan ke gagasan lain, dari satu rencana ke rencana lain, terlalu banyak tujuan tadi hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk mengistirahatkan pikiran dengan melakukan perjalanan sederhana di kamar kecilku ini.
Dengan selembar 'kertas dewa' di ujung telunjuk, perjalanan pun dimulai.
Satu buku dan pena sudah tersedia di hadapanku, juga tak ketinggalan musik dari Tame Impala dan Pink Floyd yang mengalun indah dari speaker ponselku. Gambaran demi gambaran silih berganti muncul di hadapanku pada jam-jam pertama efek kertas itu tiba.
Pola-pola berwarna cerah hilir mudik seperti lalu lintas yang ramai, mereka menari-nari mengikuti alunan lagu Cause I'm a Man milik Tame Impala. Aku menutup mata dan perjalanan acak mengambil langkah pertamanya, aku berjalan menuju kaki kecilku lalu masuk ke lapisan kulit dan memerhatikan aliran darah yang tenang. Aku menyusuri sungai darah untuk menuju hulu dimana aliran darah ini bermula.
Semakin jauh berjalan, semakin deras aliran darah merah cerah ini, saat aku tiba di pusat aliran ini aku terbawa hanyut dan seketika tiba di ruangan aneh yang tepat di tengah ruangan terdapat satu bulatan daging yang rumit, aku berada di dalam tempurung kepala, di pusat kendali tubuh, otak.
Jalinan daging otak yang rumit sangatlah menakjubkan hingga aku hanya bisa ternganga melihat karya Tuhan yang ada di tubuhku ini. Aku mencoba menembus daging rumit itu lalu masuk ke dalam dan menemukan langit penuh bintang yang saling dihubungkan oleh semacam kilatan acak yang membuat bintang-bintang itu makin menyala terang. Saat aku melihat ke bawah, aku sedang berdiri di atas pijakan tak kasat mata.
Aku berjalan sembari mendongak melihat bintang yang berkerlip-kerlip ria, hingga aku tak lagi berdiri di pijakan tak terlihat itu, aku jatuh ke bawah menuju dasar yang gelap kemudian aku menemukan pintu kayu besar bertuliskan "UNIVERSE" melengkung berwarna terang.
Aku membuka pintu besar itu dan terlihatlah ruangan super besar semacam perpustakaan berbentuk hexagonal, rak-rak buku terbaris rapi di tiap sisi ruangan. Ini adalah Mind Palace yang aku ciptakan, perpustakaan ingatan milikku. Di setiap rak buku bertuliskan kategori-kategori ingatan yang aku atur sendiri, sastra, filsafat, matematika, quotes, lifehacks dan sebagainya. Di tengah ruangan, berdiri satu layar besar yang menjulang ke langit-langit tanpa atap, layar itu tiba-tiba memutar ingatan masa lalu dari perspektifku sendiri, dari masa lalu yang indah hingga menyakitkan, aku menikmati film kehidupanku sendiri. Kehidupanku, ingatanku dan pikiranku adalah alam semesta.
Aku membuka mata dan kembali duduk di kamar kecilku. Perjalanan yang sesungguhnya baru akan dimulai.
-Bersambung-
0 comments