Wanita Hujan : Raina Citra Pelangi

September 18, 2016

Wanita Hujan : Raina Citra Pelangi Regenerasi Yang Mati
Wanita Hujan : Raina Citra Pelangi
Awan memutuskan tuk menghujani bumi sedari gulita tadi hingga pagi ini dan memenuhi langit tanpa menyisakan tempat untuk matahari. Udara dingin yang menerobos jendela kini membelaiku, merangsang tubuh agar tetap meringkuk di dalam selimut tapi rangsangan dari suara Ibu yang sudah naik pitam lebih besar dari apapun --  rangsangan yang memaksa otak untuk memerintah tubuh agar segera bergerak ke kamar mandi dan menyentuh air yang lebih dingin dari udara pagi.
Hari baru dengan sederet rutinitas lama kusambut dengan penampilan ala kadarnya. Aku beranjak ke sekolah dengan rasa malas yang mengerubungi setiap bagian tubuhku. Dari tangan beku yang malas menggenggam payung hingga tumit kaki yang malas menyentuh genangan air, malasku ini berlipat-lipat.
Jauhnya perjalanan dari rumah menuju jalan raya semakin terasa bila ditemani hujan, membuat kedua sepatu yang sudah basah enggan bergerak. Tapi, bagai mata elang mengamati calon mangsanya, mata kakiku juga sangat jeli melihat seorang wanita berseragam putih-abu dan dibalut cardigan pink sedang berjalan menembus hujan di depanku membuat kakiku kembali melangkah dan malah mempercepatnya, berusaha menyelaraskan langkah dengan wanita itu.
"Cewek gak boleh hujan-hujanan." kataku pada wanita itu saat jarak kami hanya terpaut beberapa langkah. Ia tak menjawab, ia hanya menoleh padaku dan melempar senyum hangat sehangat mentari usai hujan.
Aku berjalan di sampingnya dan membagi payungku untuknya. Kita berjalan beriringan menembus hujan dalam lindungan payung merahku.
"Cewek ko hujan-hujanan, udah tahu hujan eh gak bawa payung. Gimana sih." kataku ketus dengan pandangan lurus ke depan, fokus pada jalan. Ia tak menjawab, aku melihatnya dengan ujung mata, dia hanya memandangiku dengan pandangan tajam. Aku tersenyum tipis.
Sejenak keadaan hening, hanya suara ratusan rintik hujan yang menghantam bumi dan payung yang melindungi kami berdua.
"Sekolah dimana?" tanyaku berusaha memecah hening.
"Di SMA 22." jawabnya sembari menoleh padaku. Suaranya sehalus gerimis dan matanya berbinar seperti bulir hujan yang diterobos cahaya mentari. Indah.
Keadaan kembali hening, aku masih terkagum dengannya hingga aku tak menyadari kalau kedua pasang kaki sudah menginjak persimpangan dimana tujuan kita terpisah.
"Aku tahu kamu sekolah dimana jadi seharusnya kita disini pisah. Makasih ya." Ucapnya mengembalikan kesadaranku.
"Ah, iya... Hm.. Hati-hati." kataku terbata-bata, kesadaranku masih belum kembali sempurna.
Kakiku mengakar, pandanganku terpaku pada bayangan wanita ber-cardigan itu yang sudah masuk ke angkot dan pikirku terus menerus menerka siapa namanya. Ya, aku bahkan belum menanyakan siapa namanya. Ah sudahlah, sebut saja dia wanita hujan.
Aku harap kita bertemu kembali.
-*-
Nasib buruk menimpaku siang ini, aku lupa membawa payung yang tadi aku titipkan di kantin sekolah. Langit makin kelabu pertanda hujan akan kembali turun, sialnya adalah hujan itu tepat turun dimana aku harus berjalan kaki menuju rumah, ah sial.
"Ah, kayanya hujan udah janjian." suara seorang wanita muncul di belakangku, suara halus itu....
Aku menoleh dan mendapati wanita bercardigan pink berjalan mendekatiku sambil membawa payung kecil yang juga berwarna pink.
Ia menyelaraskan langkah dan membagi payungnya untukku.
"Mana payung kamu?" tanya wanita hujan itu.
"Ketinggalan di sekolah," aku menertawai kebodohanku sendiri.
"Itu payung siapa? Bukannya tadi gak bawa?"
"Kata siapa aku gak bawa? Aku bawa kok, tapi gak dipake aja. Aku lagi mau menikmati hujan tadi pagi tapi semua rusak karena cowok entah siapa." jawabnya sembari mengerucutkan bibir merah kecilnya. Aku menertawakannya, dia seperti anak kecil.
"Aku Resha, maaf telah merusak rencana anda tadi pagi, nyonya." aku meniru gaya bicara pelayan istana. Ia tersenyum tipis.
Gerimis masih menemani langkah dua pasang kaki yang riang bercanda. Awan sedikit memberi tempat untuk mentari hingga hujan di siang ini terlihat indah.
"Aku Raina, iya gak apa-apa, asal kapan-kapan tanya dulu orang yang mau dipayunginnya." dia terkekeh sendiri.
"Untuk menebus kesalahan saya, nyonya," aku merebut dan menutup payungnya.
"Mari kita nikmati hujan berdua." aku mengulurkan tangan padanya. Ia tersenyum lalu menerima jemariku.
Jemari kita saling merangkul, menuntun satu sama lain pada titik hujan yang paling nikmat. Tubuh tak peduli lagi basah, langkah kaki mengayun seiring nada hujan, melepas lelah dan beban melalui tiap tetes air yang jatuh melewati kepala. Dua tawa beradu di antara cahaya mentari yang menembus bulir hujan, hingga dua pasang mata dengan seirama menatap langit yang terlukis pelangi, lalu dua bibir dengan penuh janji mengucap rasa dalam bahasa yang tak bisa dimengerti telinga. Bibir kita, pada hari ini mengucap rasa.
"Terima kasih atas perjalanan basahnya, Tuan." kata Raina sembari mengangkat rok panjangnya sedikit meniru gaya penghuni istana yang sedari tadi kita mainkan.
"Tak usah sungkan, nyonya. Jangan nikmati hujan sendirian." aku memberikan payung pink-nya.
Kita hanya terdiam seperti tak mau berpisah, aku memandang ke teluk terdalam matanya, mencari dan menerka apakah rasa dan janji tadi bukanlah tipuan belaka. Ah sudahlah.
Kita mulai mengambil langkah perlahan dan ragu, mengambil jalan berbeda menuju peraduan masing-masing. Haha, perjalanan kita selalu diakhiri oleh persimpangan. Aku menoleh ke belakang, Raina pun sama lalu ia melambaikan tangannya diikuti dengan senyum riang terlukis di bibirnya, aku tersenyum dan melangkah kembali. Hujan dan Senja berpisah untuk hari ini.
Hujan dan Pelangi, pesona dan kenikmatan semesta yang ter-rangkum dalam satu wadah indah yang kugenggam tadi, Raina Citra Pelangi.
-*-
Kau menyadarkanku bahwa Tuhan mengirim hujan untuk dinikmati setelah pikiran dan raga mengatakan lelah pada beban yang ditanggungnya.
Kau mengajariku bahwa meskipun hujan tak seindah senja, mereka lebih jujur dan nikmat daripada langit jingga.
Kau menjanjikan satu momen padaku, satu momen dimana Hujan dan Senja bersua di satu tempat untuk membuat bumi terpesona dan iri pada kombinasinya.
Aku senja, kau hujan. Akan kutunggu janjimu.
-....-

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook