Bagiku, Bandung adalah saksi lahirku yang sekali dan matiku berkali-kali. Dari aku dikeluarkan paksa dari rahim di Cibabat hingga kehilangan yang
membunuhku di pojokan Sirnaraga, juga sabetan peluru di tengah Cikutra. Bagiku,
 Bandung adalah gelap dan cahaya yang jadi katalis bagiku melompati usia. Dari aku
 yang kehilangan Tuhan di terasingnya Banjaran hingga menemukan-Nya kembali di
antara hangit Terminal Dago. Bagiku, Bandung adalah Cupid yang tepat memanah
 dan mencabutnya kembali menyisakan darah. Dari kanker yang berusaha mencabut
nyawa di Immanuel hingga perpisahan khas drama di Husein Sastranegara, dari
 pertemuan indah di bawah hujan Baleendah hingga cinta ditemukan saliva yang
bersinergi dengan vodka di Pasir Kaliki.
Bagiku, Bandung adalah rangkuman semesta; serupa toserba, Bandung
 memiliki segalanya. Di pojok-pojok, preman bermain Tuhan, korporat mencoba
 merangkul iman. Di pusat kota, mahasiswa kini berpolitik dengan vodka dan mocca,
 berandal masih handal menerjemahkan sastra di tengah stigma amoral. Cinta selalu 
melabuhkan diri di sepanjang trotoar Pasar Baru dan hotel-hotel yang menganggap 
pajak adalah hal yang tak perlu. Cupid adalah germo, Aphrodite memperbanyak diri
 di lingkaran prostitusi. Bagiku, Bandung terlalu lengkap untuk dijabarkan satu per
satu.
Bagiku, Bandung adalah setan dan Tuhan, surga dan neraka, rumah dan tuju 
jelajah, ganja dan sianida. Bandung perlu ditinggal pergi agar sebagai rumah, ia tak 
kehilangan esensi. Bandung perlu melahirkan setan agar sebagai Tuhan, ia tak
 kehilangan kepercayaan. Di bagian ini, Bandung adalah aku.
26 Februari 2019, Pasha Fatahillah.
Cr images: Ali Yahya & Muhammad Rizal Fahmi