Entry, Day 15: Vida y Muerto

Desember 25, 2020

Satu-satunya hal yang aku ingat adalah hujan peluru, kini aku hanya bisa terbaring lemas. Bahu dan perutku terasa hangat dan basah. Suara dunia kembali muncul di telingaku setelah sekejap menghilang, bulan purnama tidak cukup untuk menerangi gelap ini, dan bau amis bercampur tanah dan hangit menyeruak masuk rongga hidungku. Aku ingin menggerakkan tubuhku, bangun dan kemudian lari secepat mungkin. Pulang ke rumah. Baku tembak sepertinya sudah berhenti, hanya angin menyenggol dedaunan. Aku ingin pulang.

Aku melihat dan mendengar orang-orang meneriakkan namaku.

"Merto!" Suara satu.

"Merto! Bertahanlah, tetap bersamaku!" Suara dua. Ia bahkan menampar pipiku.

Suara-suara yang lain juga meneriakkan namaku, mungkin empat atau lima suara. Atau dua puluh. Aku tidak tahu, aku bingung. Sakit mulai terasa di sekujur tubuhku.

"Merto!" Suara dua masih memanggil namaku sembari terus menampar pipiku. Aku mulai bisa melihat wajahnya. Sepertinya Ia kawanku, Vida. Ya, aku yakin, Ia Vida.

Sakit makin terasa di tiap inci tubuhku. Semakin berlalu waktu, rasa sakit ini semakin intens. Aku melenguh untuk pertama kalinya sejak terbaring lemas beberapa menit yang lalu.

"Morfin! Leo, cepat bawakan aku morfin!" Suara Vida menyalak lebih keras daripada yang biasa aku dengar dan sedikit terdengar aneh. Seperti ada rasa takut di pita suaranya.

"Vida ..." Aku mencoba menyampaikan dialog yang panjang. Namun yang hanya bisa kukeluarkan hanyalah namanya.

"Merto, hang in there, okay? We're going to get you home, Pal." Kalimat itu terdengar hangat dan nyaman. Namun jelas sekali rasa sakit ini menelan semuanya. Aku melenguh lagi.

Tubuhku mulai bergetar. Hangat dan basah kini perlahan jadi dingin dan lengket. Aku melihat bubuk sulfa di beberapa bagian tubuhku, Vida dan yang lainnya pun berusaha menutup apa yang mereka bisa dan menghentikan kebocoran di tubuhku. Lucu, kita bahkan tak punya antibiotik. Namun semuanya bekerjasama untukku, berusaha tetap menjagaku dalam rangkulan ruang dan waktu. Seperti di rumah. Sepertinya ini rumahku.

Aku rindu orangtuaku, mereka sudah lama mati dan aku tak pernah berhenti merindu. Apa aku akan mati? Akhirnya bertemu mereka dan menebus rindu. Sial, aku sudah punya keluarga sendiri. Apa yang akan Vida katakan pada Istri dan anak-anakku bila aku tak selamat dari kedinginan yang lengket dan bau ini? Meski begitu, aku yakin Ia bisa memilih kalimat yang baik dan menjaga keluargaku tetap berdiri sendiri. Aku rindu Ibuku. Sakit. Pandanganku makin menggelap. Tiap tarikan nafas, sakit dikalikan dua.

"Mama ..." Ada yang basah di pelupuk mataku. Entah tangis atau darah. Entah keduanya.

"Merto, tenanglah. Istrimu menunggu di rumah. Aku mohon ..." Aku bisa mendengar Vida terisak.

"Mama ...
"Mama ..."
Telingaku berdengung. Pandanganku semakin tertutup vignette, lingkarannya semakin mengecil. Sakitnya mulai terasa hilang, sedikit demi sedikit. Entah efek morfin, atau aku semakin dekat dengan akhir.
"Mama ..."
Aku rindu.
"Mama ...."

Disini gelap dan dingin, Ma. Tolong jemput aku. Aku sendirian.

Suara Vida masih terdengar. Ia menangis. Aku yakin setelah tangisnya selesai, Ia akan menggila dan menyiksa tiap musuh; yang masih hidup, atau sekadar memberi peluru ekstra untuk mereka yang sudah mati. Maafkan aku, Kawan, Mama sudah menjemput. See you on the other side. I regretted nothing.

Look on my works, ye Mighty, and despair!

25 Desember 2020. Untuk mereka yang menawarkan diri di garis depan, menjaga apa-apa yang mereka percayai.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook